PATRIOTISME
menurut saya adalah daya juang yang rela berkorban dan pantang menyerah untuk
mencapai tujuan atau cita-cita menjadi yang lebih baik dan dapat memberikan
perubahan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bagi
saya, meneladani sikap patriotisme para pejuang-pejuang bangsa dapat memerikan
motivasi yang besar dalam belajar. Ketika saya mempelajari sejarah kemerdekaan
indonesia yang di perjuangkan oleh golongan muda saat itu patut untuk di
teladani. karena semangat dan daya juang seorang patriot sangat nyata disana.
Sikap
patriotisme yang dapat di lakukan oleh para siswa saat untuk tetap mengharumkan
nama bangsa dan menghargai perjuangan para pahlawan kemerdekaan saat ini yaitu
seperti, tetap mengharumkan indonesia di dunia internasional dengan mengikuti
begbagai lomba-lomba ilmiah . adapun contoh kecil yang dalam keseharin dapat
kita lakukan untuk mencerminkan sikap patriotisme yaitu, mengikti upacar
bendera merah putih dengan khidmat,memperingati har-hari bersar pahlawan untuk
mengenang jasa-jasa para pahlawan,dll.
|
PATROITISME DALAM PENDIDIKAN
Pada
pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische
Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah
air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan
melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang
dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat
itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang
dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok
Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan
mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada
tanggal 11 Juli 1925.
Suatu gejala
yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial
hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok
studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi
oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang
menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun
1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik,
Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten
Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Lahirnya
pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi tersebut,
dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang
melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak
dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan
organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu,
misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan
kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun,
karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program
kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka
kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.
Kedua,
kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi
kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka
secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai
represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.
Ketiga,
karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi
sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan yang mungkin memperlemah
perjuangan mahasiswa.
Ketika itu,
disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda
yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti
Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.
Dari
kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah,
munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman
yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara
tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta
pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.
Gagasan
penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh
indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda
dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di
Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya,
Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam
sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang
arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang
bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat,
pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua,
Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah
pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro,
sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada
keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik
secara demokratis.
Pada sesi
berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain
gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa
dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik
anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum
kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman.
Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres
ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir,
rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar